Hermeneutika Hukum Forex


SEPTIAN (11073143 5550) 1.1 Latar Belakang Secara historis hermeneutika merupakan bagian dari filsafat. Hermeneutika dapat diartikan sebagai 8220menafsirkan8221. Makna konsep mengenai hermeneutika berubah-ubah seperti penerjamahan pikiran kedalam bahasa, kemudian juga diartikan sebagai kemampuan, seni, atau teknik tertentu untuk memecahkan suatu masalah. Hermeneutika ini awalnya digunakan sebagai upaya untuk menafsirkan kitab suci Injil atau Bible dijaman Renaissance. Dimasa modern hermeneutika que desmantela um truque de memkami de um memk diganakan dalam kaitannya dengan teks secara umum. Sangat baik dan sangat terkenal penjelasan hermeneutika melalui ilustrasi mitologi dalam kaitannya dengan turunya Dewa Hermes ke dunia sebagai pembawa pesan ilahi. Secara simbolis pesan terdiri atas kata-kata, sebagai teks. Dalam teori kontemporer dalam pengertian yang paling luas dunia kehidupan dengan berbagai permasalahannya dianggap sebagai teks. Oleh karena itu, kesalahan dalam menafsirkan, baik lisan maupun tulisan, baik secara langsung maupun tidak langsung berarti kegagalan dalam menyampaikan pesan tersebut (Ratna, 2010: 313). Dalam ilmu sejarah, hermenutika dapat dikaitkan dengan sistematis metode sejarah, yakni khususnya dalam hal menginterpretasi sejarah. Interpretasi menjadi pijakan penting peneliti sejarah atau sejarawan dalam menghasilkan karya sejarah atau penulisan sejarah metode interpretasi harus diterapkan bersama dengan metode penelitian sejarah lainnya, seperti pemilihan topik, heuristik, kritik sumber dan historiografi. Dalam melakukan interpretasi, sejarawan harus melakukan menafsirkan atau menggambarkan teks-teks sejarah dan peristiwa sejarah pada umumnya. Dengan berkembangnya konsep hermeneutika diera moderno saat ini, setidaknya terdapat tiga pemahaman yang dapat diperoleh, yaitu: pertama, hermeneutika dipahami sebagai teknik praksis pemahaman atau penafsiran. Pemahaman ini lebih dekat dengan tindakan eksegesis, yakni kegiatan memberi pemahaman tentang sesuatu atau kegiatan untuk mengungkapkan makna tentang sesuatu agar dapat dipahami. Kedua, hermeneutika dipahami sebagai sebuah metode penafsiran. Menyangkut hal-hal apa yang dibutuhkan atau langkah-langkah bagaimana yang harus dilakukan untuk menghindari pemahaman yang keliru terhadap teks. Ketiga, hermeneutika dipahami sebagai filsafat penafsiran, yakni hermeneutika menyoroti secara kritis bagaimana hasil pemahaman manuscrito tersebut diajukan, dibenarkan, dan bahkan disanggah (Raharjo, 2008: 32). Bagaimanakah pemahaman hermeneutika dalam interpretasi sejarah Apakah dipahami sebagai teknik, metode atau filsafat. Bagaimana pula penerapannya dalam ilmu sejarah sebagai interpretasi dan juga konsekuensi-konsekuensi apa saja yang dihadapai dalam melakukan hermeneutika dalam ilmu sejarah. Maka dari itu untuk mengetahui itu maka penulis mencoba mengangkat sebuah penelitian yang berupa makalah dengan mengambil judul 8220 PENERAPAN HERMENEUTIKA DALAM INTERPRETASI SEJARAH 8221. 1.2 Rumusan Masalah 1. Bagaiamana hermeneutika dalam ilmu sejarah 2. Bagaimana penerapan hermeneutika dalam interpretasi sejarah 3. Bagaimana konsekuensi-konsekuensi hermeneutika dalam ilmu sejarah 2.1 Hermeneutika Dalam Ilmu Sejarah Istilah Hermeneutika berasal dari kata Yunani, hermeneuein diterjemahkan 8220menafsirkan8221. Dalam tradisi Yunani kuna kata hermeneuin dipakai dalam tiga makna, yaitu mengatakan (para dizer), menjelaskan (para explicar), dan menerjemahkan (para traduzir) (Muslih, 2004: 165). Dari tiga makna ini, kemudian dalam kata Inggris diekspresikan dengan kata para interpretar. Dengan demikian perbuatan interpretasi menunjuk pada tiga hal pokok pengucapan lisan, penjelasan yang masuk akal dan terjemahan dari bahasa lain. Menurut istilah, hermeneutika biasa dipahami sebagai seni dan ilmu menafsirkan khususnya tulisan-tulisan berkewenangan, terutama berkenaan dengan kitab suci dan sama sebanding dengan tafsir. Ada juga yang memahami bahwa hermeneutika merupakan sebuah filsafat yang memusatkan bidang kajiannya pada persoalan. Istilah hermeneutika sering dihubungkan dengan nama Hermes, tokoh dalam mitos Yunani yang bertugas menjadi perantara antara Dewa Zeus dan manusia. Dikisahkan, pada suatu saat, yakni ketika harus menyampaikan pesan Zeus untuk manusia, Hermes dihadapkan pada persoalan yang pelik yaitu: bagaimana menjelaskan bahasa Zeus yang menggunakan 8220bahasa langit8221 agar bisa dimengerti oleh manusia yang menggunakan bahasa bumi8221. Akhirnya dengan segala kepintaran dan kebijaksanaannya, hermes menafsirkan dan menerjemahkan bahasa Zeus ke dalam bahasa manuscrito sehingga menjelma menjadi sebuah teks suci. Kata teks berasal dari bahasa latin, yang berarti produk tenunan atau pintalan. Dalam hal ini yang dipintal oleh Hermes adalah gagasan dan kata-kata Zeus agar hasilnya menjadi sebuah narasi dalam bahasa manusia yang bisa dipahami. Dalam tradisi filsafat perennial terdapat dugaan kuat bahwa figur Hermes tidak lain adalah Nabi Idris yang disebut dalam al-Qur8217an sebagai nabi dalam urutan pertama setelah Adam. Jika hal ini benar, sebenarnya Hermes orang pertama yang dikenal sebagai pencipta tulisan, teks, dan tenunan. Karena ketiganya memiliki konotasi yang sama (Muslih, 2004: 167). Hermeneutika merupakan satu di antara beberapa teori yang menawarkan pendekatan baru dalam ilmu-ilmu sosial. Pemikiran hermeneutika sosial ini dikembangkan por Friedrich Schleier-macher (1768-1834), Wilhelm Dilthey (1833-1911), Gadamer dan lain-lain. Hermeneutika Gadamer adalah suatu respon hadap perkembangan metodologis hermeneutika dalam era moderna. Sebagai suatu respons metodologis, dia menghindari metodologisme mengenai penafsiran yang benar (Zubaedi, 2007: 164). Dalam perkembangannya, hermeneutika terdapat beberapa pembahasan. Josep Bleicher membagi pembahasan hermeneutika menjadi tiga, yaitu hermeneutika sebagai sebuah metodelogi, hermeneutika sebagai filsafat, e hermeneutika sebagai kritik. Sementara Richard E. Palmer menggambarkan perkembangan pemikiran hermeneutika menjadi enam pembahasan, yaitu hermeneutika sebagai teori penafsiran kitab suci, hermeneutika sebagai metode filologi, hermeneutika sebagai pemahaman linguistik, hermeneutika sebagai fondasi dari ilmu sosial-budaya, hermeneutika sebagai fenomenologi dasein, dan hermeneutika sebagai sistem interpretasi (Muslih, 2004: 167). Hermeneutika bertolak dari tradisi-tradisi relativisme (humaniora), yaitu berbuat dengan mencapai tujuan tertentu (intensionalisme). Tradisi hermeneutika yang menjadi pembela utama pendekatan interpretif (abordagem interpretativa) menolak kemungkinan suatu unifikasi (atas dasar-dasar empiris atau realis) antara ilmu alam dan kajian-kajian mengenai perbuatan (ação), sejarah dan masyarakat (Latief, 2006: 88). Hermeneutika menekankan secara tegas perbedaan antara ilmu alam dengan ilmu kemanusiaan. Jika alam merupakan ciptaan Tuhan, masyarakat atau dunia dari bangsa-bangsa atau sejarah manusia (história humana) merupakan hasil ciptaan manusia. Konsekuensinya adalah penting bagi kajian sejarah. Menurut hakikat manusia hanya dapat dipahami melalui sejarah karena dalam sejarah manuscrito dapat mengekspresikan dirinya pada waktu yang berbeda-beda, dan dalam bentuk ekspresi yang berbeda-beda itulah manuscrito secara langsung menyingkap karakter dirinya. Sejarah sebagai peristiwa di masa lalu tidak dapat ditampilkan atau reka ulang sebagaimana adanya. Kita sebagai sejarawan hanya bisa memberi gambaran peristiwa tersebut bisa terjadi. Setiap peristiwa meninggalkan jejak atau bukti yang tidak dapat berbicara sendiri, disini sejarawan berpera penting untuk menafsirkan atau membuat bukti itu bisa berbicara sehingga mempunyai nilai yang tinggi dalam sejarah. Ada kesenjangan waktu antara peristiwa dan pelaku sejarah di masa lalu dengan sejarawan di masa kini artinya sejarawan perlu membuat rekonstruksi imajinatif atas situasi zaman dan kondisi batin para pelaku sejarah. Disini hermeneutika dalam penelitian sejarah adalah menafsirkan teks-teks dari masa lalu dan menjelaskan perbuatan pelaku sejarah. Melalui hermeneutika ini sejarawan bisa menjelaskan masa lalu dengan mencoba menghayati atau menempatkan dirinya dalam diri pelaku sejarah (empati), mencoba memahami dan menjelaskan bagaimana pelaku (para pelaku) sejarah berpikir, merasakan, berbuat. Hermeneutika ini memang mempunyai peran penting dalam sejarah karena melalui inilah sebuah bukti bisa berbicara. Dalam sejarah kita ketahui sulit untuk mengungkapkan sebuah kebenaran, karena buktinya sulit untuk diinterpretasinya. Sebagai ilmu yang memahami sebuah teks, hermeneutika mempunyai tingkat fleksibilitas yang tinggi. Ia dapat diterapkan di sejumlah ilmu-ilmu kemanusiaan. Pengalaman kehidupan manusia menyimpan banyak pelajaran tentang kehidupan. Pengalaman masa lalu manusia seringkali tidak selalu sama dengan apa yang terjadi saat ini. Pengungkapan pengalaman manuscrito de massa lalu selalu asing bagi pembaca berikutnya. Disinilah perlu adanya penafsiran secara benar pengalaman itu. Pengalaman manuscrito tidak hanya berada dalam satu ruang lingkup saja. Pengalaman manusia inilah yang telah mengajarkan ilmu-ilmu kemanusiaan. Agar kita dapat belajar dan memahami tentang pengalaman-pengalaman manuscrito masa lampai yang berguna bagi kelangsungan kehidupan manuscrito maka ilmu-ilmu kemanusiaan itu sangat memerlukan hermeunitika Pentingnya hermeneutika dalam ilmu sejarah adalah memberikan penafsiran terhadap produk sejarah yang telah ditunjukkan lewat sebuah prasasti. Melalui hermeneutika orang akan tahu bagaimana sebenarnya sejarah tentang kehidupan kerajaan masa lampau dan makna apa yang diperoleh dari sejarah melalui prasasti. Tidak hanya dalam ilmu agama dan sejarah, hermeneutika juga dapat berguna dalam hukum dan seni. Kunci dari sebuah hermeneutika adalah bahasa. Melalui bahasa kita dapat berkomunikasi, tetapi melalui bahasa pun kita juga bisa salah paham atau salah tafsir. Pengertian dan penafsiran yang diperoleh sangatlah tergantung dari banyaknya faktor yang ada yakni mengenai siapa yang berbicara, keadaan khusus yang berkaitan dengan waktu, tempat ataupun situasi yang dapat mewarnai arti sebuah peristiwa bahasa. Hermeneutika yang merupakan ilmu penafsiran terhadap sesuatu mempunyai pola kerja yakni sebagai pemberi potensi nilai terhadap suatu obyek. Maksudnya disini ialah, sebelum kita menafsirkan sebuah obyek maka kita harus lebih dahulu mengerti dan memahami. Memang pada kenyataannya untuk mengerti lebih dahulu dan tidak dapat menentukan pada indikator-indikator tertentu atau waktu-waktu tertentu. Mengerti seringkali terjadi begitu saja secara alamiah. Bisa jadi seseorang menjadi mengerti setelah penafsiran atau sebaliknya, mengerti dahulu setelah itu baru muncul penfasiran. Kegiatan penafsiran adalah proses yang bersifat triadik (mempunyai tiga segi yang saling berhubungan). Dalam hal ini seseorang yang melakukan penafsiran hendaknya dua harus mengenal pesan atau teks yang ada, lalu setelah itu ia harus meresapi isi teks yang ada sehingga seorang penafser tersebut seolah-olah bisa berada dalam keadaan dimana teks tersebut berada. Dengan begitu maka penafsir bisa memahami secara sungguh-sungguh terhadap suatu pengetahuan yang akan ditafsirkan tersebut dengan benar. Seorang penafsir, tidak boleh bersifat pasif, ia harus melakukan suatu proses rekontruksi makna. Rekontruksi makna merupakan suatu proses pemahaman yang kita peroleh melalui proses menghubungkan semua bagian yang ada dalam suatu obyek yang diteliti. Semua detalhe yang ada harus diperhatikan karena apabila hal tersebut diabaikan maka tidak akan tercipta suatu rekonstruksi yang menyeluruh. Dari keseluruhan proses yang dipaparkan diatas itulah yang kemudian dikenal dengan metode hermeneutika yaitu suatu proses memahami makna Berdasarkan beberapa hal diatas dapat pula diketahui bahwa cara kerja hermeneutika adalah mengenai penegasan makna otentik yang ingin dicapai selalu dilihat dalam konteks ruang dan waktu. Memahami makna objek yang diluar konteks akan mendapat sebuah makna yang kita lihat adalah pemahaman makna semu. Keautentikan makna hanya bisa dimengerti dan Dipaman Dalam Ruang Dan Waktu yang persis tepat dimana ia berada. Artinya, setiap makna selalu tersituasikan dan hanya benar-benar dapat dipahami dalam situasinya. Pemahaman makna yang tidak autentik adalah makna yang dikontrol situasi. Jadi inti dari pekerjaan hermeneutika adalah untuk mengmbalikan pada pengalaman orisinil dari para penulis (manhos) dengan maksud untuk menemukan 8220kunci8221 makna kata-kata atau ungkapan pada konteks saat ini. Dalam mengkaji sebuah teks yang ada dengan Hermeneutika kita tidak bisa lepas dari dua hal yang sangat berpengaruh yakni mengenai subyektivitas teks de subyektivitas penafsir. Teks dalam arti yang lebih luas tidak hanya sebatas pada pengertian tulisan. Para ahli Sejarah mulai memperkenalkan begaimana memahami sejarah dengan tidak hanya dilakukan sebuah teks tertulis. Teks lisan mempunyai otentisitas yang lebih dari teks tertulis. Teks disini mengalami perluasan makna. Kata-kata yang akhirnya kita tulis adalah sebuah teks tulis, maka untuk memahami makna dari apa yang dituliskan berarti kita sedang mencari makna dari teks tulis. Memahami teks juga dapat dilakukan dalam bentuk lain yakni dengan cara memahami teks secara lisan. Sebuah rekaman wawancara dapat digunakan ketika ingin memahami makna dari wawancara itu, maka hasil pemahaman itu berasal dari teks yang terkandung dari hasil wawancara yaitu teks lisan. Teks juga merupakan relalitas sosial yang mengalami fiksasi atau pemantapan. Oleh karena itu, menafsirkan atau menganalisis teks tidak lain adalah kegiatan menganalisis atau menafsirkan suatu realitas sosial yang telah diinterpretasikan ke dalam teks. Teks sendiri dalam studi ini merupakan suatu ekspresi wacana lisan. Teks sebagai realitas sosial mempunyai arti bahwa kehadiran teks itu tidak berdiri sendiri. Ia hadir dalam apa pun bentuknya tidak terlepas peristiwa apa yang menghadirkannya. Seperti sebuah prasyarat bahwa kebutuhan subyektifitas teks ini sangat memegang peranan dalam studi hermeneutika. Sebagaimana yang dikemukakan por Robinson menyatakan bahwa 8220suatu hermeneutika yang diterima pada dasarnya adalah titik awal yang dipilih secara sadar dan berisikan komponen ideologis, sikap, metodologis yang dirancang untuk membantu usaha interpretasi dan memudahkan pemahaman yang maksima. Hal ini disampaikan karena hermeneutika tidak hanya membutuhkan penafsiran teks secara tunggal tetapi hermeneutika membutuhkan pula penafsiran yang terkait dengan terbentuknya teks tersebut seperti ideologi, sikap, moral, religiusitas dan sebagainya. 2.2 Penerapan Hermeneutika Dalam Interpretasi Sejarah Teks sejarah yang ditulis dalam bahasa yang rumit yang beberapa abad tidak dipedulikan oleh dipedulikan oleh para pembacanya, tidak dapat dipahami dalam kurun waktu sesorang tanpa penafsiran yang benar. Istilah-istilah yang dipakai mungkin ada kesamaannya, tetapi arti atau makna istilah-istilah itu bisa berbeda. Perang pada jaman dulu dengan perang pada jaman sekarang pada hakikatnya adalah sama saja. Perang Troya maupun taktik Hannibal Hanya dapat diapresiasikan dalam kurun waktu mereka sendiri. Orang-orang nômade berperang karena memperebutkan suco ar. Jadi, interprestasi yang benar atas teks sejarah memerlukan hermeneutik. Dalam interpretasi sejarawan dituntut kecermatan dan sikap objektif, terutama dalam hal penafsiran akan makna fakta dan hubungan antara satu fakta dengan fakta lain. Penafsiran atas fakta harus dilandasi oley sikap obyektif. Kalaupun dalam hal tertentu bersikap subyektif, harus subyektif rasional, jangan subyektif emosional. Rekonstruksi peristiwa sejarah harus menghasilkan sejarah yang benar atau mendekati kebenaran. Di dalam proses interpretasi sejarah, seorang peneliti harus berusaha mencapai pengertian faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya peristiwa. Data sejarah sering mengandung beberapa sebab yang dapat membantu mencapai hasil. Akan tetapi, mungkin juga sebab yang sama dapat mengantarkan hasil yang berlawanan. Interpretasi atau tafsir sebenarnya sangat individual, artinya siapa saja dapat menafsirkan. Seperti pribahasa 8220 lain rambut lain ubanya8221 bahwa meski datanya sama tetapi interpretasinya berbeda. Hal tersebut dikarenakan perbedaan latar belakang, pengaruh, motivasi, pola pikir, dll (Hamid, 2011: 50-51). Menurut Denzin dan Lincoln, interpretesi merupakan aktivitas seni sekaligus politis dengan pertimbangan bahwa pada akhirnya tidak ada kebenaran interpretasi. Sebagai konstruksi naratif interpretasi cenderung memihak, posisional, bahkan ada semacam gaya interpretasi tertentu (Ratna, 2010: 316). Maka dari itu penerapaan hermeneutika dalam interpretasi sejarah dilakukan dengan mengandaikan, bahwa untuk bisa menangkap kembali kebenaran teks, ditetapkan dengan mengetahui maksud penulisan aslinya. Proses penafsiran, berasal dari penafsir ke teks dengan melalui konteks sejarah dan kultural untuk menangkap kembali maksud penulisan aslinya. Dalam proses, menurut Gadamer, terjadi interaksi antara penafsir dan teks, dimana penafsir mempertimbangkan konteks historisnya bersama dengan prasangka-prasangka sang penafsir, seperti tradisi, kepentingan praktis, bahasa, dan budaya. Gadamer menggambarkan ada dua pihak yang terlibat dalam penafsiran, antara wacana (texto) dengan penafsir. Bila sejarawan menggunakan perspektif Gadamer, maka peneliti yang tentu saja harus melaporkan hasil penelitiannya, tidak bisa dihindari harus melakukan modifikasi agar perspektif tersebut menjadi aplikatif (Raharjo, 2008: 92). Sepe r ti halnya sejarawan bermaksud menjangkau pemaknaan yang diberikan oleh orang lain, maka peneliti harus mengumpulkan datanya dari orang lain yang bersangkutan. Dalam hal ini, apa yang sangat diperlukan oleh peneliti adalah tetap peka dan mempertimbangkan tradisi, kepentingan praktis, bahasa, dan kultur orang lain tersebut, serta konteks historis ketika peristiwa itu terjadi. Jadi penerapan hermeneutika dalam interpretasi sejarah adalah pemahaman tidak hanya menafsirkan mengenai rekonstruksi sejarah, namun juga harus menyampaikan makna atau penafsiran tersebut dengan bersifat universal, bahwa penafsirannya itu bukan karena unsur keinginan secara pribadi sipenafsir, namun harus dimaknai secara universal agar mampu dimengerti oleh semua orang. Sehingga dapat diketahui kebenaran sejarah dan penyampaian yang benar terhadap sejarah. Melalui bahasa kita berkomunikasi, tetapi melalui bahasa pula kita bisa salah paham dan salah tafsir. Arti ata makna dapat kita peroleh tergantung dari banyak faktor: siapa yang berbicara, keadaan khusus yang berkaitan dengan waktu, tempat ataupun situasi yang dapat mewarnai arti sebuah peristiwa. Kita harus kembali kepada pengalaman orisinal dari para penulis (teks) dengan maksud untuk menemukan 8220kunci8221 makna kata-kata atau ungkapan. Teks atau naskah suci atau dokumen-dokumen lain yang ditulis berdasarkan ilham ilahi, sejarah, hukum, kesusastraan yang juga menggunakan bahasa sehari-hari. Akan tetapi, semua hal itu tidak akan dapat kita mengerti tanpa harus ditafsirkan. Kita bisa menafsirkan isi sesuatu teks dengan menggunakan bahasa yang kita pakai sendiri. Bahkan selalu ada sejumlah penafsiran atau interpretasi yang didasarkan atas berbagai segi ruang dan waktu. Tetapi pena pena-de-vontade no início da vida no dia do ano. (Sumaryono, 1999. 33). Oleh karena itu bahasa juga menjadi penting dalam menyampaikan pesan mengenai peristiwa sejarah yang telah ditafsirkan. Bahasa harus mudah dipahami oleah orang lain atau bersifat komunikatif, sehingga orang lain atau pembaca dapat memaknai peristiwa sejarah tersebut dengan baik dan tanpa ada salah persepsi. Penyampaian bahasa yang digunakan adalah bahasa yang dipakai sehari-hari yang dipakai oleh masyarakat sehari-harinya dan tentunya juga pemaknaan bahasa harus mengikuti perkembangan waktu. Karena setiap masanya pemaknaan bahasa itu berbeda. Tidak hanya waktu saja, namun juga konteks kultural juga dilihat karena persepsi antar masyarakat itu berbeda. Misalnya konsep keluarga, antara masyarakat pedesaan dan perkotaan itu berbeda. Oleh karena itu, memahami sebuah istilah pada dasarnya adalah lebih daripada sekedar mengetahui makna atau tanda kata-kata yang dipergunakan dalam ucapan. Idealnya, pendengar atau pembaca harus ambil bagian dalam kehidupan pengarang atau pembicara sehingga ia dapat memahaminya. Interpretasi tidak pernah dapat terlaksana jika dilakukan dalam rasio satu lawan satu antara intérprete dengan teks, namun juga bagaimana penyampaiannya kepada orang lain. Orang harus menempatkan dirinya pada interpretasi subjektif, baik itu terjadi di dalam filsafat atau kesusastraan (Sumaryono, 1999: 136). 2.3 Konsekuensi-konsekuensi Hermeneutika Dalam Sejarah A. Masalah Prasangka Gagasan dapat membebaskan kita untuk memahami dan menginterpretasikan sesuatu dari prasangka gagasan yang sudah berlaku pada masa tertentu sehingga sudah umum bagi kita. Melalui pembebasan dari gagasan-gagasan pessoal dan nilai-nilai yang ada pada subjek dan Dapat dengan sempurna memberikan peluang untuk membuka wawasan terhadap gagasan dan nilai-nilai pada masa lalu, sehingga dengan demikian pengetahuan historis dapat terpenuhi dengan baik. Sebenarnya dibalik prasangka yang terbuka ada ketidakinginan untuk menerima penilaian dari orang lain, masa lalu tetaplah berlawanan dengan suatu yang sudah hampir-hampir tidak relevan, dan juga menjadikan suatu objek menjadi berhubungan dengan hal kuno. Menurut Heidegger dan Gadamer konsepsi tentang pemahaman historis bahwa para Antiquarian dan peminat filologi yang membicarakan tentang masa lalu sebagai sebuah masa lalu tidak lagi memiliki pemahaman tetang sejarah yang lebih menggema dari pada kaum estetis. Prasangka dapat dimaksudkan sebagai sebuah base yang menunjukkan keberadaan kita yang menjadikan kita mampu untuk memahami sejarah secara keseluruhan. Prinsip diatas jika dijelaskan secara hermeneutika dapat ditetapkan bahwa tidak aka nada interpretasi yang tanpa adanya pra-anggapan. Dari tradisi kita berada, kita dapat memperoleh pra-anggapan pada diri kita. Akan tetapi pra-anggapan tidak sepenuhnya kita peroleh dari tradisi. Tradisi mendekorasi arus konsepsi dimana kita berada, dan kita harus siap untuk membedakan antara pra-anggapan yang berguna dan pra-anggapan yang memenjarakan dan menutupi diri kita dari berpikir dan mengamati (Musnur dan Damanhuri (terj), 2005: 216). Bila tidak akan pernah ada interpretasi tanpa pra-anggapan, maka pemahaman bahwa 8220interpretasi yang benar8221 dari seseorang merupakan hal yang benar dalam dirinya sendiri adalah sebuah idealitas yang tanpa pemikiran dan merupakan sebuah kemustahilan. Tidak akan terdapat interpretasi tanpa ada hubungannya dengan masa kini, serta tidak akan pernah bersifat permanen dan baku (Musnur dan Damanhuri (terj), 2005: 217). Jadi untuk bisa menafsirkan suatu hal yang terjadi di masa lalu, pra-anggapan sangat diperlukan untuk menunjang interpretasi sejarah dengan baik dan benar. B. Konsep Distansi Temporal Menurut Gadamer, suatu posisi antara hal yang como dan familiar berada di antara tujuan yang berlaku secara historis, mereggangkan obyektifitas warisan budaya dan rasa kepemilikan kita akan sebuah tradisi. Dalam hal 8220keberantaraan8221 inilah posisi sebenarnya hermeneutika (Musnur dan Damanhuri (terj), 2005: 217-218). Namun makna hermeneutika yang sebenarnya bukanlah untuk mengembangkan suatu prosedur metodis pemahaman, tapi adalah untuk memberikan klarifikasi tentang persyaratan yang dimana pemahaman dapat terjadi dan terwujud. Yang dicari oleh seorang pengarang sebenarnya bukanlah apa yang dimediasikan sebuah teks, tetapi kebenaran yang ada pada dirinya sendiri sesuai dengan yang dia temukan. Hanya dengan waktulah hal-hal yang tidak signifikan dapat ditentukan. Seseorang yang dihadapkan pada makna penting masa kini, masa lalu yang kekinian, kemudian dihadapkan kepada hermeneutis pasti akan berguna dimanapun dan kapanpun waktunya. Karena Hanya dari waktulah kita dapat mengatakan mengerti apa yang dimaksud dari teks yang ditulis oleh seseorang. C. Memahami Pengarang Teks Pada dasarnya prinsip hermeneutika adalah memahami suatu teks yang telah ditulis oleh seorang penulispengarang, namun bukan untuk memahami penulispengarangnya. Secara konsep distansi temporal ataupun penekanan makna yang ada dalam pemahaman historis seharusnya sudah dapat menciptakan sebuah pembuktian diri sendiri. Teks dipahami bukan karena suatu hubungan antara pribadi-pribadi dilibatkan tetapi dikarenakan partisipasi yang terjadi dalam pokok pembahasan dimana teks dapat berkomunikasi. Jika, partiipasi ini menekankan kenyataan bahwa seseorang tidak harus lebih jauh keluar dun dunianya sendiri membiarkan teks mengarahkan dirinya dalam dunia kekiniannya, harus membiarkan teks tersebut hadir bagi dirinya, yaitu bersifat kontemporer (Musnur dan Damanhuri (terj), 2005: 219). Jadi yang dimaksud dengan pemaham adalah suatu partisipasi arus tradisi yang didalamnya terdapat momen-momen dimana masa lalu dan masa kini dapat digabungkan. D. Rekonstruksi Masa Lalu Apabila penekanan terhadap hermeneutika lebih ditekankan pada psikologis dan teologis, maka banyak orang akan mengatakan bahwa naskah-naskah yang ada pada kitab suci bukanlah sebuah cerita biasa atau bukalah suatu penyebaran gagasan enternal yang bersifat a-temporal atau sebuah khayalan imajinasi seseorang Tanpa adanya kesungguhan dalam penulisannya. Naskah-naskah yang ada dalam kitab suci adalah sebuah karya yang historis dan dikkkkkkkkkkkkan dalam Bahasa historis oleh suatu kelompok masyarakat yang meiliki sifat historis pula. Yang perlu dipertanyakan adalah makna sebuah karya seperti apakah yang bergantung pada persoalan-persoalan yang akan kita tanyakan dalam suasana kekinian. 8220Restorasi8221, kata Gadamer, 8220bila dijadikan sentral dalam hermeneutika, tidak kurang absurdnya dibandingkan dengan keseluruhan upaya untuk merestorasi dan membangkitkan hidup selamanya8221. Integrasi bukanlah restorasi, itulah tugas sebenarnya hermeneutika (Musnur dan Damanhuri (terj), 2005: 220). E. Signifikansi Aplikasi Aplikasi merupakan fungsi interpretasi yang didalamnya terdapat hubungan antara makna teks dengan suasana kekinian. Dalam karya J. J. Rmbach, Institutiones hermeneuticae sacrae yang ditulis tahun 1723, interpretasi dikatakan harus mencakup tiga kekuatan: subtilitas intelligendi (pemahaman), subtilitas axplicandi (eksplikasi) dan subtilitas applicandi (aplikasi) (Musnur dan Damanhuri (terj), 2005: 221). Tiga kekuatan tersebut pada dasarnya mengacu pada sebuah kapasitas atau kekuatan yang membutuhkan espírito khusus, serta membentuk pemenuhan sebagai upaya untuk pemahaman teks. Secara umum dalam hermeneutika Schleiermacher dan pós-romântica ditegaskan adanya suatu kesatuan dalam dua elemen pertama (kekuatan) menjelaskan dilihat sebagai upaya menjadikan eksplisit pemahaman, dan penekanan pada kekuatan hal ini cenderung mengabaikan tidak adanya tempat sistematis bagi factor aplikasi (Musnur dan Damanhuri (terj) , 2005: 221). Sebab Schleiermacher telah menjadikan hermeneutika sebagai teori pemahaman yang berhubungan dengan dialog, sehingga Bahasa dan pengetahuan menjadi intinya, lalu aplikasi akan mendapatkan sedikit ruang dalam atmosfir pemahamannya. Didalam makna mengetahui, menjelaskan dan memahami sudah cukup mencakup aplikasi atau relasi teks pada suasana kekinian atau masa kini. Hermeneutika teologis dan juridis membawa kita kepada aspek seluruh pemahaman untuk diperhatikan dengan sepenuhnya, sehingga dengan demikian hermeneutika dapat membentuk sebuah pola yang lebih baik untuk mendapat kelayakan operasional pemahaman dalam sejarah. Hermeneutika yuridis maupun teologis, keduanya melihat tugas interpretasi tidak sekedar sebagai suatu upaya lama untuk masuk kedalam suatu dunia lain tetapi sebagai suatu upaya untuk menjangkau jarak antara teks dan suatu kekinian (Musnur dan Damanhuri (terj), 2005: 222). Sebenarnya memahami sebuah teks atau tulisan sudah sama dengan merupakan pengaplikasiannya. Begitu juga dengan hermeneutika yuridis dan teologis, keduanya berpandangan bahwa sebuah teks atau tulisan dapat dipahami atas ketertarikannya sebagai pembaca kepada penulisnya atau pengarangnya. Sebab kita akan lebih berhubungan dengan teks atau tulisannya, bukan kepada penulis atau pengarangnya. Interpretasi dalam pandangan ahli hukum memiliki kesamaan paralel dengan hermenetika. 1 Hermenetika secara umum dapat didefinisikan sebagai disiplin yang berkenaan dengan teori tentang penafsiran. Penguin Teori disini tidak hanya untuk menunjuk suatu eksposisi metodologis tentang aturan-aturan yang membimbing penafsiran-penafsiran teks. 2 Akan tetapi, istilah teori juga merujuk kepada filsafat dalam pengertian yang lebih luas karena tercakup di dalamnya tugas-tugas menganalisa segala fenomena dasariah dalam proses penafsiran atau pemahaman manusia. 3 Hermeneutik pada dasarnya berhubungan dengan bahasa. Kita befikir melalui bahasa, berbicara dan menulis melalui bahasa, mengerti dan membuat interpretasi dengan bahasa. Hermeneutik adalah cara baru untuk bergaul dengan bahasa. Sebagaiman diungkapkan por Gadamer, bahasa harus dipahami sebagai sesuai yang memiliki ketertujuan (teleologi) di dalam dirinya. Wilhelm Dilthey menyatakan kata-kata ataupun ungkapan mempunuai tujuan (telos) tersendiri atau penuh dengan maksud. 4 Jadi pengungkapan mana bahasa merupakan pusat sentral kegitan hermeneutik. Hukum terdiri dari rumusan-rumusan yang mengikat secara imperatif maupun fakultatif kepada manusia. Rumusan hukum tersebut merupakan suatu bentuk komunikasi antara siperumusnya dangan tujuan hukum yang hendak dicapainya. Berarti rumusan hukum merupakan suatu bahasa. Sebagai suatu bahasa, maka suatu rumusan hukum merupakan objek dari hermeneutik. Bahasa Dalam kotreks hukum menurut E. Sumaryono menyatakan: 5 Interpretasi terhadap hukum selalu berhubungan dengan isinya. Setiap hukum mempunyai dua segi yaitu yang tersurat dan yang tersirat, atau bunyi hukum dan semangat hukum. Dua hal itu selalu diperdebatkan por ahli hukum. Dalam hal ini bahasa menjadi penting. Suntilitas Intelligendi (ketepetan pemahaman) dan Subtilitas Ekplicandi (ketepatan penjabaran) adalah sangat relevan bagi dokumen hukum. Jadi ruanglingkup hermeneutik hukum adalah ajaran filsafat mengenai hal mengertimemahami sesuatu, atau suatu metode interpretasi (pena) de terhadap teks. Kata teks atau sesuatu adalah berupa teks hukum, fakta hukum, naskah-naskah hukum, dokumen resmi suatu negara, doktine hukum, yurisprudensi dansemua kepastiannya menjadi objek yang ditafsirkan. Metode dan teknis menafsirkan dilakukan secara holistik dalam bingkai berkaitan dengan teks, konteks dan kontekstualitasnya. 6 Secara nyaata pada abad kesembilan belas dan kedua puluh konsep hermeneutika hukum mengalam perkebangan yang signifikan. Hal ini merupakan hasil dari pengembangan berbagai jenis hermeneutika umum, metodologi dikembangkan oleh Schleiermacher dan Dilthey, dan fenomenologi dikembangkan oleh Heidegger dan Gadamer. 7 Bahkan, filsafat hukum juga menjadisaksi dalam upaya untuk mengembangkan hermeneutika analitik. Dalam hermeneutik, untuk dapat membuat intepretasi, orang lebih dahulu harus mengerti atau memahami. Keadaan labih dahulu mengerti ini bukan didasari atas penentuan waktu, melaikan bersifat alamiah. Ketika sesorang mengerti, ia sebenarnya telah melakukan intepretasi dan juga sebaliknya. Ada kesertametaan atara mengerti dengan membuat interpretasi. Dalam menafsirkan harus mengenal pesan atau kecondongan sebuah teks, lalu meresapi makan teks. Dari uraian diatas dapat disimpulkan, hermenetika tidak hanya mencakup atas metode penafsiran akan tetapi filsafat penafsiran. Karena hermeneutik menyelidiki realitas dalam pengertian sepenuh mencari jawabahan atas sesuatu yang disebuat ada. Terdapat tiga pemikiran hermeneutik yang dibahas dalam tulisan ini yakni Scheiermacher, Dilthey, dan Hans Georg Gadamer. Pemilihan atas teori tersebut dikarenakan adanya hubungan pemahaman teks hukum. Menurut Scheiermacher, dalam melakukan penafsiran akan muncul dengan sedirnya sebuah kesalahpahaman. Kesalah pahaman ini bukan merupakan merupakan faktor yang kebetulan terjadi akan tetapi merupakan bagian intergral dari kemungkinan iterpretasi itu sediri. Oleh karena itu kesalahpahaman itu harus di dsingkirkan. Maka, menurut Scheiermacher, dalam melakukan penafsiran teks terdapat dua bagian yang perlu diperhatikan yakni penafsiran gramatikal dan penafsiran psikologis. 8 Bahasa gramatika menurut Scheiermacher merupakan syarat berfikir setiap orang, sedangkan aspek psikologis interpretasi memungkinkan sesorang menagkap setitik cahaya pribadi penulis. Menurut Kaelan, prinsip hermeneutik Scheiermacher adalah rekonstruksi yang bertolak dari ekpresi yang telah diungkapkan. Dalam masalah ini terdapat dua hal pokok yang saling berhubungan dan berinteraksi, yaitu momen tata bahasa dan momen kejiwaan. 9 Momen tatabahasan yang kemudian disebut dengan rekontruksi gramatikal, sedangkan momen kejiwaan disebut rekonstruksi psikologis. Sebagaimana dinyatakan oleh Richrd E Palmer yakni: 10 Thus interpretation consists of two interacting moments: the grammatical and the psychological (in the larger sense of everything encompassed by the psychic life of the author). The principle upon which this reconstruction stands, whether grammatical or psychological, is that of the hermeneutical circle. Schleiermacher, menyebutnya dengan pemahaman rekonstruksi objektif historis dan rekonstruksi subjektif historis. Rekonstruksi objektif historis membahas sebuah pernyataan dalam hubungannya dengan bahasa secara keseluruhan. Rekonstruksi subjektif historis membahas awal mulanya sebuah pernyataan masuk dalam pikiran seseorang. Tugas hermeneutika menurut Schleiermacher sendiri, memahami teks sebaik mungkin, bahkan kalau dapat, lebih baik daripada pengarangnya sendiri, dan memahami pengarang teks tersebut lebih baik daripada memahami dirinya sendiri. Richrd E. Palmer, menyatakan bahwa dalam pemikiran Scheiermacher, terdapat pemikiran untuk misahkan wilayah bahasa dari wilayah pemikiran. Richrd E Palmer, menyatkan bahwa: 11 IN SCHLEIERMACHERS LATER THINKING there is an increasing tendency to separate the sphere of language from the sphere of thought. The former is the province of 8220grammatical8221 interpretation, while the latter Schleiermacher first called technical (technische) and then later psychological. Grammatical interpretation proceeds by locating the assertion recording to objective and general laws the psychological side of interpretation focuses on what is subjective and indivi - dual. According to Schleiermacher, just as every speech has a twofold relationship, both to the whole of the language and to t h e collected thinking of the speaker, so also there exists in a l l understanding of the speech two moments: understanding it as something drawn out of language and as a 8216fact8217 in the thinking of the speaker. Wilayah interpretasi gramatis diawali dengan menempatkan pernyataan berdasarkan aturan objektif dan umum, sedangkan interpretasi psikologis memfokuskan pada apa itu subyek dan individu. Setiap pembaca memiliki hubungan ganda, baik kepada keutuhan bahasa ataupun kepada pemikiran kolektif pembicara. Memahami sebagai suatu yang tergambar dari bahasa dan bagian sebuah fakta dari pembicara. Jadi, penafsiran gramatikal sebagaimana dijelasakan Scheiermacher, tidak akan valid kecuali dilanjutkan dengan penfsiran psikologi, yakni menggunakan pengetahuan linguistik dan sejarah kebahasaan yang diperoleh sebelumnya. Seorang penafsir harus merekonstruksi secara imajinatif suasana batin pengarang. 12 Hal ini berarti pemikiran Scheiermacher, telah menjangakau lebih jauh dari hanya sekedar pemahaman gramatikal saja. Karena menurut, Scheiermacher disaping menekankan pentingnya pemahaman gramatikal juga nekankan pentingnya interpretasi psikologis. Intepretasi psikologis menjangkau lebih jauh lagi yakni upaya menempatkan kepala kita ke dalam kepala pengarang, berusaha melacak asal usul batiniah dari karyanya atau dengan kata lain, mereka ulang aktus penciptaan. 13 Di dalam upaya memahami teks, penafsir harus mampu memahami keduanya. Hal ini merupakan lingkaran hermeneutis ( hermeneutical circle ). Adapaun yang dimasud dengan Lingkaran hermeneutis Scheiermacher, menurut Richrd E. Palmer What we understand forms itself into systematic unities, or circles made up of parts. The circle as a whole defines the individual part, and the parts together form the circle, A whole sentence, for instance, is a unity. 14 Merupakan apa yang dipahami membentuk dirinya ke dalam kesatuan sistematik, atau lingkaran-lingkaran yang dibentuk oleh bagian-bagian. Lingkaran secara keseluruhan menggambarkan bagian-bagian dan bagian-bagian secara bersama-sama membentuk lingkaran. Berdasarkan interaksi dialektis antara keseluruhan dengan bagian-bagian, maka masing-masing meberikan suatu makna. Maka, dalam penafsiran secara gramatikal, sesuatu yang membutuhkan ketetapan (makna) dalam suatu teks tertentu hanya dapat diputuskan dengan merujuk pada lapangan kebahasaan dan makna dari sebuah batang tubuh teks ditetapkan dengan merujuk pada konsistensinya dengan kata-kata lain di sekelilingnya. 15 Menurut Scheiermacher suatu penafsir tidak mungkin memahami suatu objek, seperti teks atau kalimat, sebagai suatu bagian partikular tanpa merujuk kepada keseluruhan konteksnya. Selain itu, tidak juga dapat dipahami keseluruhan tanpa merujuk kepada bagian-bagian. 16 Dilthey juga mengembangkan pandangan yang serupa dengan Scheiermacher, akan tetapi menurut Dilthey proses penafsiran psikologi digambarkan sebagai peristiwa sejarah bukan mental. 17 Oleh karena itu, yang perlu ditafsirkan bukan kondisi pengarangnya, tetapi makna-makna dari peristiwa sejarah yang mendorong lahirnya teks. 18 Dilthey memasukkan persoalan interpretasi teks kedalam wilayah yang lebih luas, yaitu pengetahuan historis ( historical knowledge ). 19 Dilthey membangun sebuah sistem yakni sistem internal individu dan sistem eksternal. Sistem-sistem kemasyarakatan sifatnya adalah eksternal kerena ditentukan oleh ruang dan waktu, dan hanya melalui sistem eksternal sajalah yang akan mampu meraih interpretasi historis tentang situasi historis setiap individu. 20 Setiap individu merupakan hasil atau produk dari suatu sistem sosial atau eksternal. Dilthey mencari pemahaman atau interpretasi atas kegiatan-kegiatan individu yang dengan sedirinya tersituasikan dalam sistem eksternal. Disini terlihat pemahaman Dilthey, lebih meluas pemahaman atas individu yang dapat diperoleh dengan pritiwa-pristiwa sejarah yang melahirkannya. Maka, dari pemikiran Dilthey perumus suatu norma tidak memiliki otoritas atas makna teks, tetapi sejarahlah yang menetukan maknanya. Terhadap pemahaman Dilthey, terlihat terjadinya pergeseran dari pemahaman psikologis kepada pemahaman historis. Masalah hermeneutika menurut Dilthey begerser dari persoalan bagaimana memasuki kelapa pengarangorang lain menjadi bagaimana merekonstruksi bentuk-bentuk yang menjadi wadah kehidupan orang lain itu dieksternalisasikan. 21 Interpretasi psikologis langsung sebagaiman diinginkan Scheiermacher tidak mungkin di lakukan lagi, karena Dilthey sudah mengdaikan adanya kesalingterkaitan makna kshidupan yang terjawantah ke dalam wujud-wujud eksternalisasi tersebut. 22 Berdasarkan apa penjelasan kedua pemikiran tersebut, baik Schleiermacher dan Dilhey, hermeneutik merupakan penafsiran reproduktif. Karena, penafsiran merupakan rekontruksi suatu pemaknaan atas sesuatu teks, dengan menampilkan apa yang diinginkan oleh pengarang yang berupa, pikiran, perasaan dan maksud pengarang. Hal ini terlihat adanya penekanan penting pada seorang interpreter yakni harus memiliki pemahaman tentang sejarah dan psikologi. Dalam interpretasi ini tidak tercipta makna baru karena bukan merupakan suatu kegiatan produksi. Pada akhirnya kedua pemikiran tesebut yakni pandangan hermeneutika reproduktif dikelopokan sebagai pandangan romantisme. Pemikiran romantisme ini menjadi dasar atas kritik Hans Georg Gadamer yang lebih menekankan pada padangan fenomenologi. Hans Georg Gadamer dikenal dengan hermeneutik filosofis yakni suatu penafsiran selalu berarti proses produksi makna baru bukan reproduksi makan awal. Hans Georg Gadamer, mengemukakan bawah penafsiran selalu merupakan proses sirkuler, yakni memahami masa lalu dari sudut pandangan kita dan dari situasi kekinian kita ( our historical present ). 23 Pertanyaan itu bermaksud menolak berbagai pandangan yang menganggap kegiatan penafsiran sebagai re-living masa lalu dengan menghilangkan identitas penafsir dalam kegiatan interpretasi. 24 Hans Georg Gadamer, tidak setuju jika tugas hermeneutik hanya sebatas mencari makan asli yang terkandung dalam suatu teks sebagaimana diinginkan oleh pandangan romatisme. Bagi Hans Georg Gadamer manfsirkan teks atau mencari pemahaman teks tidak hanya terbatas pada maksud pengarangnya saja. Interpretasi adalah proses penciptaan kembali, bukan suatu proses reproduksi atau rekosntruksi melainkan produsi. Teks mempunya keterbukaan aats bagi masa kini maupun masa mendatang, hermeneutik selalu memahami realitas dan manusia dengan titik tolak sekarang atau kontemporer. Pendapat sebelumnya dalam mencari jawaban untuk menghilangkan jarak watu antara penafsir dan pengarang dengan menempatkan diri sebagaimana pengarang dulu - Dilthey dan Scheiermacher - dikeritik oleh Hans Georg Gadamer sebagai usaha yang sia-sia. Pemahaman manusia tentang sejarah dan tradisi tidak akan pernah utuh, sebab keniscahayaan jarak dan waktu. Seorang sejarawan tidak akan bisa mengakui klaim kebenaran masa lalu tanpa mengikutsertakan perasangkanya sendiri dan diapun tidak bisa mempertaruhkan parasangkanya tanpa mengakui kalim kebenaran masa lalu. Maka, terlihat bahwa Hans Georg Gadamer dalam meperoleh pemahaman yang benar adalah melihat masa kini dan masa lalu. Terdapat 2 (dua) hal yang di tolak Hans Georg Gadamer ketika menerjemahkan makna teks yakni: pertama, makna teks tersebut takluk di bawah paradigma konseptual penafsir yang berasal dari prasangka-prasangka bahasa masa kini. Hal ini akan membawa kepada kesalahpahaman, sebab terjadi adalah pemerkosaan masa lalu oleh masa kini. Kedua, makna teks dibiarkan mendominasi bahasa masa sekarang: pemahaman dan iterpretasi dibuat bersandarkan masa lalu. 25 Di sini yang akan terjadi penjiplakan atau pengopian dan bukan pemahaman. Maka kemungkinan yang dap at dilakukan, menurut Hans Georg Gadamer adalah peleburan bahasa. Melihat atas kedua-duanya sebagai fusi bukan sebagai suatu mediasi. (tulisan ini merupan konsep awal kerangka teori dlm penelitian disertasi penulis) 1 E. Fernando M. Manullang, Korporatisme dan Undang-Undang Dasar 45, (Bandung: CV. Nuansa Aulia, 2010), Hlm. 23. 2 Anthon F. Susanto, Ilmu Hukum Non Sistematik (Fondasi Filsafat Pengembangan Ilmu Hukum Indonesia) . (Yogyakarta: Genta Publisisng, 2010), hlm. 113-114. Blog ini menghadirkan beberapa tulisan dibidang ilmu hukum. Tulisan ini merupakan tulisan lepas. Pada beberapa tulisan, kami mencoba dalam penulisan mengunakan kaedah penulisan yang baik yakni adanya sumberkutipan dan daftar pustaka. Seluruh artikel dalam Blog ini diperbolehkan untuk dikutip maupun didistribusikan kepada publik guna tujuan pendidikan dan penelitian, dengan catatan tetap mencantumkan nama penulis atau peneliti yang bersangkutan. Semoga penegakan hukum di Indonesia dapat diwujudkan. JAYALAH NEGERIKU. ilham. hermawangmail Tulisan Terakhir Democracy Now Detik Komentar Terbaru

Comments